Hampir
semua orang mengenal waria (wanita tapi pria), waria adalah individu yang memiliki jenis kelamin
laki-laki tetapi berperilaku dan berpakaian seperti layaknya seorang wanita.
Waria merupakan kelompok minoritas dalam masyarakat, namun demikian jumlah
waria semakin hari semakin bertambah, terutama di kota-kota besar. Bagi penulis
waria merupakan suatu fenomena yang
menarik untuk diteliti karena dalam kenyataannya, tidak semua orang dapat
mengetahui secara pasti dan memahami mengapa dan bagaimana perilaku waria dapat
terbentuk.
Perilaku waria tidak
dapat dijelaskan dengan deskripsi yang sederhana. Konflik identitas jenis
kelamin yang dialami waria tersebut hanya dapat dipahami melalui kajian
terhadap setiap tahap perkembangan dalam hidupnya. Setiap manusia atau individu
akan selalu berkembang, dari perkembangan tersebut individu akan mengalami
perubahan-perubahan baik fisik maupun psikologis. Salah satu aspek dalam diri
manusia yang sangat penting adalah peran jenis kelamin
Setiap individu
diharapkan dapat memahami peran sesuai dengan jenis kelaminnya. Keberhasilan
individu dalam pembentukan identitas jenis kelamin ditentukan oleh berhasil
atau tidaknya individu tersebut dalam menerima dan memahami perilaku sesuai
dengan peran jenis kelaminnya. Jika individu gagal dalam menerima dan memahami
peran jenis kelaminnya maka individu tersebut akan mengalami konflik atau
gangguan identitas jenis kelamin.
Berperilaku menjadi waria
memiliki banyak resiko. Waria dihadapkan pada berbagai masalah: penolakan
keluarga, kurang diterima atau bahkan tidak diterima secara sosial, dianggap lelucon,
hingga kekerasan baik verbal maupun non verbal. Penolakan terhadap waria
tersebut terutama dilakukan oleh masyarakat strata sosial atas. Oetomo (2000)
dalam penelitiannya menyebutkan bahwa masyarakat strata sosial atas ternyata
lebih sulit memahami eksistensi waria, mereka memiliki pandangan negatif
terhadap waria dan enggan bergaul dengan waria dibanding masyarakat strata
sosial bawah yang lebih toleran. Karena belum diterimanya waria dalam kehidupan
masyarakat, maka kehidupan waria menjadi terbatas terutama pada kehidupan
hiburan seperti ngamen, ludruk, atau pada dunia kecantikan dan kosmetik dan
tidak menutup kemungkinan sesuai realita yang ada, beberapa waria menjadi
pelacur untuk memenuhi kebutuhan materiel maupun biologis. Pakar kesehatan
masyarakat dan pemerhati waria, Gultom (2002) setuju dengan pendapat seorang
waria yang bernama Yuli, bahwa waria merupakan kaum yang paling marginal.
Penolakan terhadap waria tidak terbatas rasa “jijik”, mereka juga ditolak untuk
mengisi ruang-ruang aktivitas: dari pegawai negeri, karyawan swasta, atau
berbagai profesi lain. Bahkan dalam mengurus KTP, persoalan waria juga
mengundang penolakan dan permasalahan, maka sebagian besar akhirnya turun
dijalanan untuk mencari kebebasan
Perlakuan
yang tidak adil terhadap waria, tidak lain adalah disebabkan kurang adanya
pemahaman masyarakat tentang perkembangan perilaku dan dinamika psikologis yang
dialami oleh para waria, sebab selama ini pemberitaan-pemberitaan media, baik
media cetak maupun media elektronik, belum sampai menyentuh pada wilayah
tersebut. Berdasar atas realitas tersebut peneliti menganggap penting untuk
memahami lebih dalam mengenai waria, kebutuhan-kebutuhan atau dorongan yang
mengarahkan dan memberi energi pada waria, tekanan-tekanan yang dialami,
konflik-konflik yang terjadi, hingga bagaimana mekanisme pertahanan diri yang
akan digunakan oleh waria tersebut. Cara yang paling tepat adalah dengan
mempelajari dinamika kepribadian beserta faktor-faktor yang mempengaruhi
perjalanan hidupnya, dimana hal ini dapat diketahui dengan menghubungkan masa
lalu, masa kini dan antisipasi masa depan orang tersebut.
Penulis berharap dengan informasi
yang disampaikan melalui penulisan studi kasus ini akan mampu memberikan
gambaran dan penjelasan yang akurat mengenai fenomena waria, sehingga
penerimaan dan pemahaman yang terjadi atas fenomena tersebut akhirnya merupakan
sebuah pemahaman yang tepat.
paparan yang menarik. salam
BalasHapus